Ahmad Sukatmajaya
Seiring perjalanan perjuangan umat Islam Indonesia merebut
kemerdekaan bersamaan dengan itu juga menghendaki pelaksanaan ajaran
Islam dapat dijalankan secara kafah (totalitas). Harus disadari bahwa Perjuangan
merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan Belanda tidak lepas dari motivasi
jihad menegakkan Syariat Islam. Walaupun perjuangan secara konstitusional pada wkatu
itu kandas diforum konstituante dengan dicoretnaya 7 kata pada piagam
Jakarta. Pencoretan itu terjadi hanya setelah satu hari kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Yaitu Negara berdasar atas Ketuhanan
yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.
Terlaksananya ajaran Islam dipersada bumi Indonesia
ini bagi orang perseorangan masih terbuka untuk diangkat sebagai hukum positif,
khususnya pada aspek muamalah termasuk melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan
prinsip-prinsip Islam yang diawalai dengan mengembangkan lembaga-lembaga
keuangan Islam. Walaupun 7 kata tersebut telah dicoret. Akan tetapi
jaminan tersebut masih tertuang dalam pasal 29 UUD 1945. Terlepas dari
kondisi kehidupan pemahaman sosial politik dan ekonomi masyarakat
Islam saat ini masih dipengaruhi oleh paham sekuler. Yaitu paham yang
memisahkan agama dengan kehidupan dunia. Paham itu sudah berkembang
sejak lama dan terus mempengaruhi masyarakat
khususnya umat Islam.
Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Namun kehidupan umat Islam dalam menata rumah tangganya secara Islam masih
banyak dicurigai oleh orang-orang Islam yang memang menganut faham sekuler.
Agama Islam dipandang sama dengan agama lain yang hanya mengatur persoalan
ibadah dalam arti yang sangat sempit. Yaitu terbatas pada rukun Islam saja.
Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Allah Swt. telah memberikan mandat
kepada manusia untuk menjadikan segala sesuatu dijagat raya ini untuk manusia.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),(12) dan Dia (menundukkan pula)
apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.(13) (Qs. An-Nahl :12-13).
Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan
bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan
perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan
dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada Manusia.(al-Haj :65).
Akan tetapi banyak manusia yang tidak menyadari
tentang ayat tersebut. Apalagi dengan perkembangan ilmu dan teknologi
menjadikan manusia semakin sombong dan congkak. Dan lebih parah lagi manusia
tidak tahu siapa yang menciptakan dirinya. Sehingga hidupnya merasa akan abadi
di dunia.
Banyak manusia imannya merasa telah sempurna ketika
dia sudah menjalankan ibadah haji rukun Islam yang kelima, menunaikan
zakat dan shodaqoh, melaksanakan puasa dan mengerjakan shalat. Sedangkan
keimanan yang benar-benar meyakini Allah Swt sebagai tuhan dan robnya tidak
pernah diperhatikan dan diukur dengan baik.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang benar.(al-Hujarat : 15)
Jadi penjelasan ayat al Hujarat :15 di atas salah
satu ayat yang terlupakan. Paling tidak dianggap bukan bagian dari ayat dalam
surat al-Quran. Sehingga eksistensi ayat tersebut tidak perlu lagi diindahkan.
Walapun sesungguhnya ayat tersebut posisinya sama saja dengan ayat yang memerintahkan
shalat, memerintahkan zakat, puasa dan pergi haji. Karena satu-kesatuan dari
ayat al-Quran yang tidak dapat dipisahkan.
2. PERJUANGAN EKONOMI SYARIAH
Islam sebagai agama yang sempurna tidak saja mengatur
aspek ibadah (mahdhah) juga mengatur aspek muamalah (ghairu mahdhoh). Islam
sebagai ajaran agama meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia.
Dasar-dasar aturan kehidupan manusia telah dicukupkan sebagaimana al-Quran :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu. (al-Maidah: 3)
Dan sabda Nabi Muhammad
Rasulullah Saw. yang telah mewariskan dua pusaka yang tidak akan sesat apabila
pusaka itu dipegang dan dilaksanakan yaitu al-Quran dan Hadits Nabi Saw.
Oleh karena itu Allah Swt. memerintahkan agar setiap yang beriman untuk
melaksanakan Islam secara kafah :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(al-Baqarah; 108).
Dan tidak pantas bagi seorang yang telah mengaku
dirinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya lantas dia mengingkari segala
perintah dan melanggar larangan-Nya. Sudah sejak lama aktivis Islam berjuangan dalam
rangka menyelaraskan kehidupan yang sesuai dengan aturan Islam. Keinginan untuk
mewujudkan aturan-aturan hidup yang akan mendapat ridha dari Allah Swt
diperjuangkan. Namun selalu ditolak orang yang beragama Islam lainnya.
Forum-forum diskusi aktivis Islam, kuliah subuh,
kuliah dhuha, kuliah tujuh menit senantiasa membahas tentang bank tanpa bunga.
Seminar, Kajian Islam tentang ekonomi, lokakarya dan forum-forum ilmiah lainnya
juga banyak membahas tentang ekonomi Islam. Hal itu menunjukan
semangat yang kuat dari kalangan umat Islam. Pencaharian tersebut akhirnya
sampai pada Lokakarya “Bank Tanpa Bunga” yang dilaksanakan oleh MUI Pusat di
Cisarua tanggal 18-20 Agustus 1990. Hasil lokakarya itu diperdalam pada Munas
MUI IV yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta 22-25 Agustus 1990.
Berdasarkan amanat Munas dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam.
Rencana untuk mendirikan bank Islam tersebut disambut
dengan gegap gempita dari mulai rakyat jelata sampai kepala negara. Partisipasi
umat sangat luar biasa. Bank tersebut kini bernama Bank Muamalat Indonesia
(BMI). Presiden Soeharto dan Wakil Presiden H.Sudahrmono,SH turut serta sebagai
pemrakarsa utama pendirian Bank Muamalat. Harapan menjadi kenyataan yang sejak
lama diimpikan akhirnya tiba. Potensi umat Islam benar-benar akan menjadi peluang bagi kemajuan bangsa dan
negara baik secara ekonomi maupun politik. Sebagai mana disampaikan oleh
Presiden Soeharto pada peresmian beroperasinya Bank Muamalat tanggal 15 Mei
1992 di Jakarta,
“.... Umat Islam Indonesia mempunyai
potensi ekonomi yang sangat besar. Jika potensi ekonomi tadi bisa kita gerakan
dan kita arahkan, pembangunan kita pasti akan berjalan makin pesat…”
Semangat untuk mendirikan bank Islam bukan karena
dorongan/ajaran Islam yang dianggap dogmatis dan hampa seperti
banyak difahami para kaum sekularis. Seperti doktrin ajaran-ajaran agama lain yang
terkadang dipaksakan walau kurang dapat difahami secara logika. Konsep Islam
tentang ekonomi dapat dipelajari dan dijabarkan secara ilmiah. Bahkan secara
komperatif konsep ekonomi Islam mempunyai keunggulan tersendiri.
Perjuangan itu belum selesai hanya sebatas pada
berdirinya bank Islam. Dengan keyakinan dan niat ibadah kepada Allah saatnya
umat Islam untuk bangkit. Tanggung jawab umat Islam lebih lanjut membesarkan
dan
memelihara untuk membuktikan keunggulan Bank Islam.
- Landasan Berdirinya Bank Syariah
Bentuk dukungan yang kongkrit dari pemerintah dengan
lahirnya UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan
diperbolehkannya bank bagi hasil. Yaitu pasal 13 ayat c) menyatakan bahwa salah
satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prisnip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah. Pada PP No. 72
tahun 1992 tetang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Secara tegas pada pasal
6 PP No. 72/92 sebagai berikut :
a. Bank
Umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan kegiatan usaha yang tidak
berdasarkan prisnip bagi hasil.
b. Bank
Umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Secara operasional ketentuan di atas dijabarkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia. SE.BI No.25/4/ BPPP tanggal 29 Februari 1994
intinya :
1) Bahwa
bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang
dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
2) Prinsip
bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.
3) Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil wajib
memiliki Dewan Pengawas Syariah.
4) Bank
umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdsarkan
prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil. Sebaliknya, bank umum atau bank perkreditan rakyat yang
kegiatan usahanya tidak berdasarkan kepada prisnip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan usaha berdasarkan prisnip bagi hasil..
Sejalan perkembangan pasar dan kebutuhan pengembangan bank yang sehat,
maka dilakukan perubahan terhadap UU No. 7/1992 yaitu lahir UU No. 10/1998
tentang perubahan UU No. 7/1992 tentang perbankan. Diikuti pula dengan
peraturan-peraturan lain yang lebih operasional.
Untuk
saat ini pelaksanaan Perbankan Syariah sudah diataur oleh UU No 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
4. ISLAMISASI BANK SYARIAH
Perkembangan
Bank Syariah dilihat dari aspek pasar dan pertumbuhan aset cukup menggembirakan.
Hal itu menunjukan bahwa keberadaan perbankan syariah di Indonesia sangat
diperlukan. Semua itu dapat difahami karena beberapa faktor :
a.
Secara historis bank syariah telah menunjukan
kehandalannya dalam menghadapi keris monter. Pada tahun 1997 Bank Muamalat
(BMI) sebagai bank pertama yang beroperasi secara syariah cukup tangguh, tidak
terpengaruh oleh dampak kerisis. BMI juga tidak menerima dana BLBI yang
jumlahnya cukup fantastis sekitar Rp. 600 Trilium. Walaupun pada saat itu BMI
mengalami penurunan keuntungan tetapi tidak memiliki masalah dengan
pengembalian dana simpanan nasabah (DPK).
b.
Sosiologis dan kultural, BMI lahir ditengah-tengah
masyarkat yang religius yang sejak lama mendambakan Bank Islam. Sehingga
pilihan untuk menyimpan dana di bank syariah adalah pilihan atas dorongan
religius. Karena secara sosiologis dan kultur masyarakat Indonesia cenderung
agamis.
c.
Rasionalitas, menyimpan dana di bank syariah relatif
lebih aman dan menguntungkan. Sedangkan poroduk-produk pembiayaan yang
ditawarkan relatif variatif.
Dari
ketiga faktor tersebut adalah faktor dominan yang mendorong pertumbuhan bank
syariah relatif baik. Namun dari kesuksesan tersebut, dalam pengelolaan bank
syariah masih harus meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam hal
pemahaman terhadap konsep dan pelaksanaan bank syariah. Terutama dari segi
produk-produk pembiayaan yang masih cenderung kamuflase masih mirip dengan
produk konvensional.
Misalnya
pembiayaan untuk karyawan/pegawai di kantor-kantor. Para pegawai mendapatkan
“kredit” dengan menerima sejumlah uang. Dan pegawai tersebut harus membayar
pokok dan kelebihannya yang disebut dengan marjin. Transaksi ini bila dilihat
dari segi produk perbankan syariah akan tidak dijumpai landasan akadnya. Apakah
menggunakan akad murabahah, salam, istisna atau ijarah. Yang jelas akad
tersebut bukan akad qardul hasan, karena dalam akad qordul hasan tidak dijumpai
membayar kelebihan atau marjin.
Kejadian
diatas adalah salah satu fakta yang dijumpai dikantor-kantor. Bila dikita
datang ke Bank Syariah Mandiri (BSM). BSM telah menawarkan skim pembiayaan
mikro yang polanya sama dengan kredit konvensional, bila nasabah (debitur)
mendapatkan pembiayaan dia juga harus membayar yang disebut marjin yang
presentasinya sudah ditentukan tanpa harus mengetahui barang yang akan dibeli
oleh nasabahnya.
Dari
kedua kasus yang penulis temui dilapangan, memang pelaku bank syariah masih
harus perlu mendapatkan peningkatan kapasitas, agar pelaksanaan bank syariah
semakin Islami.
---o0o---
Jakarta, 17
Januari 2012