Minggu, 08 Maret 2009

Riba dan Bunga

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.( Al-Hujarat : 15)

A. Eksistensi riba menurut Islam
Bunga (interest) dalam sistem ekonomi kapitalis dianggap sebagai cost of money. Riba telah menjadi polemik dalam kalangan umat Islam. Beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya haram. Alasan halalnya bunga itu antara lain :
1) Dalam keadaan darurat bunga hukumnya halal. Argumentasinya bahwa sebelum ada bank Islam umat Islam mengalami kesulitan untuk memperoleh modal dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan usaha. Namun konsep darurat yang digunakan untuk pembenaran halalnya bunga secara fiqh ternyata tidak relevan. Darurat menurut Imam As-Suyuti dalam bukunya Asybah wan Nadhair adalah suatu keadaan emergency yaitu jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian. Para ulama juga sering mencontohkan untuk kondisi darurat yang menyebabkan bolehnya makan daging babi, atau bangkai, yaitu seorang yang tersesat atau kelaparan dimana tidak ada sesuatu yang dapat dimakan kecuali hanya daging babi itu, maka daging babi tersebut boleh dimakan. Persoalan hukum keharaman daging babi tetap tidak berubah, hanya saja Allah Swt. mengampuninya karena kondisi darurat, sebagai- mana firman-Nya dalam al Quran :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.s; Al Baqarah :173)

Anggapan bunga halal dengan argumentasi keadaan darurat menjadi batal, karena dilakukan tanpa batasan waktu dan tidak ada upaya mencari pengganti kepada hal-hal yang sesuai dengan syariah.

2) Hanya bunga yang berlipat ganda yang haram, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak mendzalimi tidak dilarang. Pemahaman ini didasari atas al Quran surat al Imron ayat 130 :
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan”.

Para ulama menafsirkan perkataan “berlipat”( )dalam al-Quran surat Al-Imron ayat 130 bukanlah syarat sah tidaknya riba. Kata “berlipat” adalah kata sifat yang menjelaskan karakteristik riba itu berlipat. Hal ini dapat dikaji dari phase-phase pelarangan terhadap riba dengan segala aspek dan bentuknya. Bahwa riba tetap haram tidak tergantung pada besar kecilnya kelipatan atau jenis dan bentuknya. Sebagaimana dalam kalimat janganlah kau membunuh dengan sadis, karena hal itu perbuatan yang kejam. Membunuh tetap dilarang dan perbuatan dosa walaupun tidak dengan sadis dan mencincang.

3) Bank sebagai lembaga tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak termasuk yang terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba. Alasannya bahwa pada masa Nabi belum ada lembaga keuangan bank yang menerapkan riba, artinya bank bukanlah yang termasuk dalam larangan riba.

Pendapat di atas tidak bisa dijadikan dasar argumentasi halalnya bunga. Karena pada zaman Nabi Saw. telah berdiri lembaga keuangan yang berbadan hukum atau yang disahkan oleh penguasa. Dalam sejarah Romawi dan Persia telah banyak berdiri lembaga keuangan yang disahkan oleh penguasa setempat. Dalam operasinya menerapkan system bunga.

Kesimpulan argumentasi halalnya bunga dengan sendirinya menjadi tidak sah. Apapun bentuk dan jenisnya serta besar kecilnya tingkat suku bunga bila Islam telah menetapkan haram, maka haram selamanya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 278-279 :

“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka..(al-Ahzab : 36).

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata ; Rasulullah Saw. bersabda; Akan datang suatu zaman, tidak ada seorang pun kecuali ia terlibat dalam memakan harta riba. Kalau ia tidak memakannya secara langsung, ia akan terkena debunya.” (HR. Ibnu Majjah)

Rasulullah Saw. bersabda :” Dirhamu ribaa ya kuluhurrujulu wahuwa ya’lamu, asyaddu min sitin watsalaa ina zaniyyatin”.

“ Seseorang yang memakan harta riba dengan sadar adalah lebih hina daripada tiga puluh enam kali berbuat zinah” (HR. Imam Ahmad).

“La’anallahu akilarriba wamuukilahu wakatibahu wasyahidaiyhi –wakola- hum sawaa”

“Allah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba juru tulis dan dua orang saksi -dan beliau bersabda- mereka semua adalah sama.”

“La’ana rasulullah akilarribaa wamuukilahu wasyahidaihi wakatibahu”.
Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, orang yang member makan riba, dua orang saksi dan juru tulisnya.”(H.R. Muslim).

B. Macam – Macam Riba

Pengertian riba yang disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqhiyyah :

1) Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shih Al- Bukhari :
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan harta atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.

2) Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi :
“ Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tampa adanya iwadh atau (padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.

3) Raghib Al Asfahani :
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”

4) Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’I :
“Riba adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lamanya waktu pinjaman”.

5) Qatadah :
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”.

6) Zaid bin Aslam :
“ Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi berlipat ganda sejalan dengan waktu adalah seseorang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: “ bayar sekarang atau tambah”.

7) Mujahid :
“ Mereka jual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu”.

8) Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah :
Allah melarang riba, supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam meminjam dan sejenisnya. Padahal al-qord bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia”.

9) Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hanafi :
“Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana lebih (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan”.

Atas dasar pendapat para ulama dari berbagai mazhab di atas intinya menyatakan bahwa riba hukumnya haram, yang dimaksud riba adalah Interest (bunga) bank. Karena bunga dipandang sebagai penghambat terjadinya tolong menolong atas sesama manusia dan menimbulkan eksploitasi secara ekonomi, sedangkan manusia sebagai makhluk Allah Swt. harus saling membantu, terlebih lagi sesama umat Islam. Zainul Arifin[*] (2002, hal 11) bahwa aktivitas keuangan dan perbankan syariah dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur’an yaitu :

(1) Prinsip At Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an :
“…Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Qs. Al Maidah: 2).

(2) Prinsip menghindari al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu..”.(Qs. An -Nisa : 29).

Konsep tabarru atau membantu sesama manusia harus didasari atas ketulusan hati serta tidak dibenarkan mengharapkan imbalan, sehingga akan memberatkan orang yang semestinya memperoleh bantuan. Apabila yang bersangkutan(penolong) berharap memperoleh keuntungan dari apa yang akan diberikan, maka niatnya harus dirubah menjadi perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam syariah Islam disebut Akad Tijari, yaitu perjanjian komersial. Itu pun harus adil dan berbagi risiko secara proporsional.

Hikmah pelarangan riba agar terjadi tolong menolong serta menumbuhkan rasa keadilan, Yusuf Qordawi menyatakan :
“ Sesungguhnya hikmah eksplisit dan tampak jelas dibalik pengharaman riba adalah mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta memikul risiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Inilah pengertian keadilan Islam”.

Dari uraian di atas Islam sesungguhnya sangat tegas terhadap praktik riba, baik yang bersifat konsumtif maupun produktif yang sifatnya untuk usaha. Riba secara garis besar dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang-piutang terbagi dua yaitu riba qordh dan riba jahiliyah. Sedangkan riba jual beli terdiri dari riba fadhl dan riba nasi’ah. Adapun pengertian jenis-jenis riba itu sebagai berikut :
a. Riba Qordh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtariah).
b. Riba Jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utang tepat pada waktu yang ditetapkan.
c. Riba Fadhl adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis ribawi. (1) Barang ribawi antara lain Emas, perak baik dalam bentuk uang emas/perak atau dalam bentuk lainnya. (2) Bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan lainnya.
d. Riba Nasi’ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang akan diserahkan kemudian.

Pelarangan terhadap praktik riba (interest) sesungguhnya tidak hanya dalam Islam. Akan tetapi semua agama juga melarangnya termasuk para filusuf. Perbuatan riba dapat dinilai sebagai perbuatan yang tidak bermoral, yaitu mengambil keuntungan dari orang yang sangat membutuhkan sesuatu atau dana. Atau ingin memperoleh untung akan tetapi tidak mau menanggung risiko. Bahkan jauh sebelum Islam lahir, para raja sebelum masehi telah melarang praktik bunga (interest). Pada tahun 1950 SM, Raja Hammurabi menetapkan kebijakan tentang tata cara pinjam meminjam dengan system barter dan menentukan batas interest rate serta himbauan pada masyarakat untuk menghindari transaksi ribawi (Mahmud Arif Wahbah, Nadzriyat al Faaidah fi al-fikr al Iqtishodi).

Juga dapat dilihat dalam kitab Perjanjian Lama (Old Testament) dan Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 yaitu larangan membungakan uang bagi orang-orang Yahudi :
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umat ku , orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” (Keluaran 22;25).

“ Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan”. (Deuteronomy (ulangan) :22; 19)

Demikian juga pelarangan bunga bagi umat Kristen yang dituangkan dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat pada Lukas 6 : 34-35 :
“ Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasa mu ? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih terhadap orang-orang jahat” (Lukas 6 : 34-35)


FATWA MUI No. 1/2004 tentang Bunga(Interest/fa’idah)
Dalam keputusannya sebagai berikut :
Pertama : Pengertian Bunga (interest) dan Riba
1. Bunga (interest/Fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang(al-qordh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan(ziyada) tanpa ( ﺒﻼﻋﻮﺾ)yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran ( ) yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua : hukum bunga (interest)
1. Peraktik membungakan uang saat ini telah memenuhi criteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW., yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktik membungakan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktik membungakan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.■ [*] Zainul Arifin, MBA, Drs. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Alfabet, Jakarta 2002.

Ahmad Sukatmajaya.

2 komentar:

  1. Assalammu'alikum.. wr. wb...
    apa kabar Bang..? semoga abang sehat2 saja.. amin... akhirnya ketemu juga di dunia maya.. he.. he.. he.. bang jika bisa untuk memudahkan komunikasi via Online untuk Alumni PTDI - Dosen - Mahasiswa dibuat FACEBOOK Group / FORYM STAI PTDII..
    maksudna buat memudahkan komunikasi n membuat mahasiswa + alumni PTDI biar cepat faham OnLine n manfaatnya.. gimana bang..?

    BalasHapus
  2. nambah Coment bang...
    selain di Facebook kita bisa bikin media komunikasi di Hi5.Com abang bisa buka di LINK Blog punya ane : My Hi5 Profile

    BalasHapus